MENGENAL LEBIH DALAM band "MARJINAL"
Bob OI: Marjinal dibentuk 11 tahun yang silam, pada
22 Desember — bertepatan dengan Hari Ibu di kalender nasional. Sebelas
tahun yang lalu, kite ketemu di sebuah kampus grafika di Jakarta
Selatan. Awalnya, gue pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak
tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udeh kita kuasai, gue udah gape
menggambar, bikin desain, demikian juga yang laen. Kebanyakan kita
ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmospherenya represif,
nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun
sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat
adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis
banget.
Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan
lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem
fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan
newsletter, dan aksi turun ke jalan… Kita secara kebetulan gape juga
main musik. Ya, dengan modal gitar n jurus tiga kunci, kita maen musik,
bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.
Mike Marjinal:Lalu kita
namakan kelompok itu Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military
dipahami orang-orang sebagai sebuah band akhirnya… Padahal kita bukan
anak band! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang
lebih luas, lebih asyik.. medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi
untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan
kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari
awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band.
Setelah Harto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi.
Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih
luas lagi… Negeri ini jadi negeri ngeri… Banyak tragedi, perang saudara,
buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu
komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti
mengangkut binatang. So dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat
dan korup.. kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa
bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation.
Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang
beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun
sebuah nation! Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal.
Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama
pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah…
MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk
menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.
-
marjinal mengangkat beragam isu sosiopolitikdalam lirik kalian. Bisa cerita
apa misi kalian sebagai band?
Mike Marjinal: Lagi-lagi harus kukatakan dari lubuk
hati yang dalam, cieee: “Kita bukan anak band”. Sejak kita membangun
AFRA kita memang punya kesadaran melawan sistem politik kotor di negeri
ini, khususnya melawan ideologi fasis militeristik rejim Orba. Sejak
menjadi Marjinal, kita kembali ke tengah masyarakat, belajar dari
keseharian mereka sekaligus jadi inspirasi bagi lagu-lagu yang kita
ciptakan. Lirik-lirik iitu kan mengangkat persoalan tetangga, kawan dan
masyarakat kita. Kita cuma asal comot apa yang menjadi gelisahkan. Kita
cuma jadi cermin, yang merefleksikan segala yang dirasakan masyarakat.
Kita selama bertahun-tahun, di kolektif TaringBabi, hidup di tengah
kampung Setu Babakan. Awalnya, mereka was-was melihat penampilan kita
yang sangar, tapi lama kelamaan masyarakat merasa senang, karena kita
ikut gotong-royong, membuat acara Agustusan, workshop sablon dan segala
keterampilan cetak-mencetak. Setiap hari, puluhan anak-anak punk dari
daerah mana aja datang ke TaringBabi, tapi masyarakat tidak lagi
was-was. Pernah gue dengar ibu-ibu bilang,”Anak-anak itu rambutnya aja
yang aneh, tapi hatinya baek….” Ibu-ibu juga nggak takut melihat tato,
yang penting hatinya kagak bertato!
Dari sini kita kan bisa melihat hidup yang berwarna-warni, kita
rayakan perbedaan dengan damai. Band Marjinal itu kan salah satu usaha
kita berkomunikasi dengan masyarakat. Album atau kaset yang kita rilis
secara indie juga diniatkan untuk membangun komunikasi. Kita nggak
nyangka, Marjinal didengar sampai Pulau Siladen nun jauh di Sulawesi
Utara sana. Ketika kita diundang main untuk scene punk Manado,
kawan-kawan dari Kotamubagu datang, itu kan letaknya di pedalaman.
Bayangkan, mereka datang jalan kaki. Ketika ketemu gue, ada yang
langsung buka baju memperlihatkan tato bertuliskan Marjinal. Gue
terharu, sekaligus bangga dengan semangat persekawanan ini…
Bob OI: Kita maen di mana aja,
tidak untuk scene punk doang. Acara ulang tahun, perkawinan, peluncuran
buku… Bahkan Mike sering bilang, acara apa pun kita main, ini ruang
untuk berkomunikasidan silaturahmi, memperluas kesadaran kita sebagai
nation, usaha kita saling belajar dan bekerja sama-sama. Pernah seorang
guru, namanya Pak Sukri, dari STM YZA, Ciawi nyari-nyari alamat kita,
nyasar ke sana-kemari, niatnya mengundang kita main untuk acara
sekolahnya, karena murid-muridnya minta Marjinal main untuk acara
perpisahan. Ditawari band lain, mereka nggak mau. Sebelum main, kita
selalu membuat work-shop cukil kayu (wood cut). Mereka sangat antusias
mencetak kaos polos dengan desain cukil kayu. Kalau ada waktu, kita bisa
main di mana saja, asal kebebasan kita enggak dibelejeti. Karena dari
kebebasan itu kita ada. Kebebasan yang mengatur diri kita sekaligus
respect dengan kebebasan orang lain.
-
Arti punk buat kalian?
Bob OI: Kita bikin desain kaos: Pemuda Urakan Nan
Kreatif (PUNK). Ya, itulah tafsir kita untuk punk walau kata itu muncul
pertama di Inggris dari sebuah karya William Shakespeare,
The Marriage of Lady Windsor .Sebagai
sub-kultur, Punk berkembang tahun 80-an. Punk sebagai gerakan
mengunggulkan rasa toleransi dan kebebasan. Punk, sebagai sang pemula,
yang pertama meneriakkan ketidakadilan dan perlawanan terhadap sistem
yang korup.
-
Apa arti menjadi politikal bagi kalian?
Mike Marjinal: Berusaha terlibat dengan realitas,
melawan sistem yang korup, dan berusaha melakukan perubahan yang lebih
baik dari hal yang terkecil, teman, keluarga, tetangga, dst.
-
bagaimana kalian menjalankan etos dan prinsip yang tumbuh dan
berkembang alam punk rock seperti konsep D.I.Y hingga beragam bentuk
kesadaran sosiopolitikal dalam keseharian baik secara personal maupun
sebagai band?
Mike Marjinal:
Do It Yourself itu kan
sesuatu yang ideal, sehingga kita mampu berjalan di kaki sendiri, nggak
tergantung dengan sistem yang nggak berkeadilan. DIY, sebenarnya kan
sudah ada dalam etos perlawanan dalam budaya kita. Suku Samin di Jawa
Tengah dan sekitarnya itu sudah DIY, membuat peradabannya sendiri ketika
daerah-daerah lain ditindas kolonial Belanda. Mereka menanam benih,
memanen dan membuat rumah secara bersama untuk kebutuhan bersama. DIY
harus dilihat dalam konteks seperti itu di sini. Kita kan nggak harus
copy-paste DIY yang ada di England sono, yang ditafsirkan hanya anti ini
dan anti itu. Menurut gue sih, DIY itu bertolak dari Kebebasan. DIY itu
bukan aturan dan aturan, seperti menolak media mainstream, TV, sponsor,
dlsb. Semua hal harus dilihat hubungan sebab dan akibatnya, bukan cuma
slogan anti ini dan anti itu: anti TV nasional sini tapi nongol di TV
asing dengan alasan solidaritas internasional. Ini sih cipoa! Gue
prihatin dengan kondisi kayak gini. Sudah lama scene punk nggak pernah
mendiskusikan hal-hal yang mendasar seperti ini. Ayo kita bicara, dengan
argumen yang cerdas. Tahun lalu, sebuah televisi swasta nasional
meminta Marjinal sebagai nara sumber untuik sesi acara bertajuk Punk.
Kru TV datang ke kita, bertanya ini dan itu dan membuat liputan kegiatan
sehari-hari di kolektif TaringBabi. Ya, kita menerima dengan terbuka
dan apa adanya. Tapi sebelum acara itu ditayangkan, Marjinal disembur
fitnah yang keji, dianggap tidak DIY karena bekerjasama dengan media
mainstream…Blaut! Kita jadi narasumber bukan untuk promosi album atau
ngomong tentang isi perut band, tidak! Jadi, semua itu harus dilihat
konteksnya, hubungan sebab dan akibatnya. Kalau kita kerja kita dapat
duit, tapi kalau kita diundang main band, coba aja tanya yang ngundang,
kita nggak pernah memberatkan tuan rumah. Paling-paling cuma dapet
ongkos balik, sekedar makan-makan bareng sedunia ha..ha..ha..
Selama ini, kita hidup bukan dari band. Kita bertahan hidup dan
menjalankan aktivitas dari karya yang kita jual. Desain, sablon kaos,
kaset,atau nyari duit di luar. Gue kadang ngajar atau dapat kerjaan
menggambar di sekolah-sekolah. Gue melukis potret. Ableh selain nyablon
juga ngojek. Begitulah kenyataannya… Lagi-lagi harus ogut bilang, “Kite
bukan anak band”
-
pandangan akan kondisi obyektif scene punk rock lokal sekarang?
Bob Oi: Ada yang hilang dalam scene punk sekarang:
diskusi. Dulu kan sempat banyak zine yang terbit, sekarang terbit
tempo-tempo dan banyak nggak terbitnya, kalau pun terbit materi
tulisannya adalah tulisan-tulisan yang lama, itu pun sebagian besar
hasil terjemahan dari zine luar, ya… masih copy-paste!
Implikasinya scene punk nggak pernah belajar mendiskusikan
persoalan-persoalan yang mendasar, misalnya tafsir tentang DIY di
Indonesia dalam konteks sekarang ini. Scene punk masih bergairah dengan
fashion-nya, itu yang kenceng… Padahal itu kan semua simbolis sifatnya,
yang harus diungkap menjadi sebuah pengalaman dan kesadaran. Kenapa
rambut mohawk ala Indian, misalnya, itu suatu bentuk solidaritas
terhadap suku Indian di Amerika yang tertindas dan termarjinalkan.
Mengapa punk pakai sepatu boot… Itu suatu perlawanan terhadap militer,
kita pakai atribut sepatu boot untuk nginjek lumpur jalanan pasar,
ngebersihin got, nginjek tokai! Yang kayak-kayak gitu belum dipahami…
Orientasi punk di sini masih sebatas ngeband, main musik, ngobrolnya
atau gosip=gosipnya pun masih seputar itu. Punk rock itu genre musik
titik. Sedangkan punk adalah way of life, yang ngebentuk karakter kita
untuk terus melawan terhadap sistem yang nggak berkeadilan dan mandiri:
Pemuda Urakan Nan Kreatif, yang mengedepankan kesetaraan, menolak
hirarki. Jadi nggak ada senior dan junior dalam scene punk. Semua bisa
saling belajar. Bukan saling menindas, dengan melarang ini dan itu.
Tidak ada polisi dalam scene punk. Kalau punk penuh aturan dan aturan
yang memblejeti kebebasan… Gua orang pertama yang menyatakan diri bukan
punk! Mendingan jadi nelayan di Cilincing mancing ikan di tengah laut,
nggak ada yang ngelarang!
-
Seberapa besar ekspektasi kalian bahwa musik kalian bisa membawa perubahan alam masyarakat?
Mike Marjinal: Harapan terhadap perubahan yang
diekspresikan lewat musik selalu menggelora di jiwa kita. Ketika sistem
yang menindas dan korup ini merajalela, orang-orang kan selalu gelisah
mencari katup pembebasan, minimal lewat musik yang didengar nyangkut di
hati menjadi inspirasi untuk perubahan hidup yang lebih baik. Semua itu
menjadi kesadaran yang ngasih energi, daya hidup, agar tetap survive di
tengah negeri ngeri ini, dan bangkit untuk memperbaiki apa yang rusak
atau selesai dalam diri kita, rumah dan lingkungan kita. Musik membentuk
karakter individu yang kuat, memimpin dirinya atau
rumahtangga/lingkungannya melakukan perubahan. Dari individu-individu
berkarakter inilah akan dihasilkan kolektif yang kuat saling berbagi dan
menolong yang lemah atau miskin. Kemiskinan kita kan tidak alamiah.
Bayangkan Indonesia kan kaya, tapi kenapa kita miskin? Karena
individunya lemah. Kita terlalu asyik bergerombol nonton orang ngeduk
kekayaan Indonesia, kita lebih senang ongkang-ongkang dapat komisi 10
persen, yang kemudian diributkan. Hentikan itu semua! Ayo, kerja! Kalau
kita kerja, niscaya karakter kita kuat! Sukarno dulu sering bicara
tentang Berdikari, berdiri di kaki sendiri. Jauh sebelum DIY
dikumandangkan di England sono!
Marjinal peduli dengan
nation ini. Kita berusaha
menulis lirik dalam bahasa Indonesia, karena kita peduli dengan nation
ini, ingat Sumpah Pemuda. Awalnya, banyak yang mencibir, kok band punk
liriknya pake bahasa Indonesia! Musik bagi kita kan salah satu jalan
untuk berkomunikasi. Liriknya harus dipahami orang Indonesia dong.
Musiknya boleh aja gado-gado, mau gambang kromong kek atau pake calung
seperti Punk Lung dari Cicalengka, itu sangat kreatif, Atau terpengaruh
geberan band-band punk sono, tapi lirik harus bahasa Indonesia walaupun
nggak harus benar dan baik seperti yang dislogankan pemerintah. Musik
itu selain enak didengar, untuk senang-senang tapi harus punya tujuan
yang jelas yang diungkapkan lewat pesan yang memberi inspirasi untuk
masyarakat. Kita meniru jejak Benyamin S. Semangat bang Ben serta
perjuangannya, kita ambil. Terlepas genre musiknya, Benyamin.S bisa
dibilang punk sejati.
-
Selain lewat musik apa aksi konkrit kalian untuk mengaplikasikan lirik dan esadaran sosiopolitik yang kalian sampaikan?
Bob OI: Aksi kongkrit kita, ya lebih dekat dengan
masyarakat dengan membuka ruang-ruang kreatif: bikin workshop cukil kayu
di gigs, ikut aktif dalam kegiatan gotong-royong. Bikin pelatihan
keterampilan sablon, creative-writing, teater, melukis dan berpameran di
ruang-ruang publik dan sekolah. Selain membuka ruang dialog dengan
memaksimalkan media audio-visual, kayak bikin film pendek tapi bukan
pendek pikiran lho.. he..he…he… Semua itu sebagai langkah awal untuk
berdialog dengan masyarakat. Tujuannya bukan cuma hal yang politis
doang, kita belajar, berkarya, dan bekerja sama-sama. Sehingga
masyarakat terlibat dalam proses kreatif kita!
-
Bagimana masyarakat disekitarnya memandang dan menerima kalian?
Mike Marjinal:Masyarakat, terutama ibu-ibu, sayang
banget ama Marjinal. Kalau kita bikin acara, ibu-ibu di Gang Setia Budi,
Srengsengsawah yang bantuin masak-masak. Ibu-ibu pun latihan bina
vokalia bareng kita untuk kegiatan panggung Tujuhbelasan. Anak-anak muda
mulai belajar nyablon, bikin tato temporer atau bikin distro di sekitar
danau Setu Babakan, daerah tujuan wisata lokal itu karena di sono ada
wisata perkampungan Betawi.
Bob OI: Pernah sekali gue bawa ransel gede lewat
gang mau ke jalan raya. Ada yang nanya mau kemana, tiba-tiba mood
becanda gue kumat,”Saya mau pindah, Bu! Kebetulan nih mau pamitan
sekalian…” Ibu itu langsung protes: gue nggak boleh pindah rumah, karena
dia demen ngeliat keberadaan punk di Gang. Setiabudi. Dia langsung
narik-narik ransel gue sambil mau nangis. Akhirnya, gue nggak tega, gue
bilang sebenarnya isi tas itu cuma kaos-kaos yang mau didistribusikan ke
distro-distro, si ibu pun baru bisa ketawa… Begitulah, kita banyak
berhutang budi dengan masyarakat di sana. Ada Babak Jaya yang sudah kami
anggap orangtua, ada Pak Maman yang punya kontrakan yang ngasih
kebebasan menggunakan rumah itu untuk aktifitas work-shop anak-anak
muda, ada anak-anak TK dan SD yang datang tiap sore latihan main jimbe,
ada tamu-tamu dari Jerman seperti Mash mahasiswi antropologi Humbolt
University, Berlin yang sedang bikin penelitian tentang komunitas punk
di Indonesia, atau tamu dari Amerika, Kanada, Prancis, dan tamu-tamu
silih berganti kawan-kawan street punk atawa punk kentrung dari Kali
Pasir, Jembatan Lima, Kota, Senen, Manggarai, Matraman, Blok M, Meruya,
yang datang tukar cerita setelah seharuian ngamen atau kawan-kawan scene
punk dari daerah: Porong, Mojokerto,Malang, Blitar, Sukabumi, Bandung,
Indramayu, Makasar, Manado, Medan, Pontianak, Ambon, Lampung, Palembang,
Batam, sampai Sorong-Papua.
-
ada informasi tambahan, rencana kedepan atau proyek lain?
Mike Marjinal: Setelah tour silaturahmi maen di
beberapa kota tahun ini: Makasar, Manado, Kotamubagu, Pulau Siladen,
Sukabumi, Bali, Cirebon, Bandung, Jampang dan beberapa gigs di pelosok
Jakarta, kita sekarang mempersiapkan ngegarap album kelima, masuk studio
rekaman di rumah kediaman almarhum Pramoedya Ananta Toer, yang
kebetulan cucunya, Adit, adalah drumer Marjinal. KIta juga lagi bergerak
berkarya, bikin cukil kayu (wood cut), selama ini karya yang udah
banyak tersebar itu akan dipamerkan bulan November di Galeri Nasional,
Bentara Budaya Kompas dan Galeri Inisiatif Independent yang diorganisir
budayawan Taufik Rahzen. Dateng ya ke pameran ntar… Ada work-shop
segala, pokoknya mantrapsss! Selama sebulan bikin pameran di tiga tempat
sekaligus!!!! Habis kita kelamaan moloooorrr, sekarang ayo bangun!
Banguuuunnn! Mantraps!!!!!